Upah Buruh Tidak Layak
Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) menilai porsi
upah buruh di Indonesia saat ini masih rendah jika dibandingkan dengan
keseluruhan biaya produksi. Porsi itu pun masih jauh dibandingkan dengan
margin yang diperoleh pengusaha.
Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik Slamet Sutomo menyatakan selama ini upah buruh masih sekitar 20 persen dari keseluruhan biaya produksi. Sementara dari total margin yang diraih pengusaha dari hasil penjualan mereka bisa mencapai berlipat-lipat dari upah buruh per barang yang dijual.
"Kalau dari sisi penelitian yang namanya upah itu relatif lebih rendah, perbandingannya 20% : 80%. Kalau kita menghasilkan output itu berapa yang jadi upah, dan berapa yang jadi hasil kapital itu masih 20% : 80%. Ini masih terlalu rendah," ujarnya saat ditemui di kantornya, Jalan Dr. Sutomo, Jakarta, Senin (6/2/2012).
Menurut Sutomo, seharusnya 40% bisa dialokasikan untuk upah agar para buruh bisa sejahtera. "Tapi harusnya seimbang, paling tidak 40% : 60% supaya kita hidup sejahtera, tapi itu masih tergantung kebijakan pemerintah," jelasnya.
Untuk itu, lanjut Sutomo, memang diperlukan revisi terkait peraturan upah buruh. Hanya saja, perlu diakui kenaikan upas pastilah memberikan dampak pada harga produk. "Makanya musti dilihat lagi tingkat upah kita supaya jangan terlalu rendah, makanya kita perlu revisi terkait peraturan upah tenaga kerja pada umumnya karena selama ini terlalu banyak yang diambil untuk kapital. Tapi dilema juga kalau upah dinaikkan biaya akan semakin mahal," jelasnya.
Namun, lanjut Sutomo, hal tersebut masih bisa dilakukan jika perusahaan bisa mengefisiensikan biaya produksinya.
"Tapi menurut saya kalau porsi surplus usaha itu sebagian dimasukkan ke upah karyawan kalau regulasinya bagus ya tidak ada masalah. Yang penting itu ya soal upah itu tadi, tapi seperti buah simalakama soal upah ini. Harusnya biaya lain-lain termasuk biaya produksi bisa lebih efisien," pungkasnya.
Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik Slamet Sutomo menyatakan selama ini upah buruh masih sekitar 20 persen dari keseluruhan biaya produksi. Sementara dari total margin yang diraih pengusaha dari hasil penjualan mereka bisa mencapai berlipat-lipat dari upah buruh per barang yang dijual.
"Kalau dari sisi penelitian yang namanya upah itu relatif lebih rendah, perbandingannya 20% : 80%. Kalau kita menghasilkan output itu berapa yang jadi upah, dan berapa yang jadi hasil kapital itu masih 20% : 80%. Ini masih terlalu rendah," ujarnya saat ditemui di kantornya, Jalan Dr. Sutomo, Jakarta, Senin (6/2/2012).
Menurut Sutomo, seharusnya 40% bisa dialokasikan untuk upah agar para buruh bisa sejahtera. "Tapi harusnya seimbang, paling tidak 40% : 60% supaya kita hidup sejahtera, tapi itu masih tergantung kebijakan pemerintah," jelasnya.
Untuk itu, lanjut Sutomo, memang diperlukan revisi terkait peraturan upah buruh. Hanya saja, perlu diakui kenaikan upas pastilah memberikan dampak pada harga produk. "Makanya musti dilihat lagi tingkat upah kita supaya jangan terlalu rendah, makanya kita perlu revisi terkait peraturan upah tenaga kerja pada umumnya karena selama ini terlalu banyak yang diambil untuk kapital. Tapi dilema juga kalau upah dinaikkan biaya akan semakin mahal," jelasnya.
Namun, lanjut Sutomo, hal tersebut masih bisa dilakukan jika perusahaan bisa mengefisiensikan biaya produksinya.
"Tapi menurut saya kalau porsi surplus usaha itu sebagian dimasukkan ke upah karyawan kalau regulasinya bagus ya tidak ada masalah. Yang penting itu ya soal upah itu tadi, tapi seperti buah simalakama soal upah ini. Harusnya biaya lain-lain termasuk biaya produksi bisa lebih efisien," pungkasnya.
sumber :
http://finance.detik.com/read/2012/02/06/154333/1835361/4/bps-porsi-upah-buruh-di-indonesia-masih-rendah
0 comments:
Post a Comment