Bangkit Melawan, atau pasrah akan nasib
Gagasan
sentral sejatinya bersifat amat mendasar: setiap karyawan (atau
pekerja) di seluruh dunia selalu hanya akan menjadi sekrup dari mesin
kapitalisme yang terus menderu dan menggilas. Selamanya, para karyawan
dan pekerja hanya akan menjadi alat produksi dari sebuah sistem besar
bernama akumulasi modal yang dilakukan oleh para kaum juragan (business
owner).
Alat produksi. Just that. Dalam konteks itu, maka tema heroik yang acap kita dengar bahwa: ”Our Most Important Asset is Our Employee,”
hanyalah sebuah dagelan pahit. Sebuah ilusi. Para karyawan dan pekerja
bukan aset penting, melainkan sekedar alat produksi yang tak ada bedanya
dengan baut, tang, obeng, kunci Inggris, dll.
Pelan-pelan
yang terjadi kemudian adalah proses dehumanisasi: para karyawan dan
pekerja itu lalu direduksi maknanya hanya sebatas angka dan nomer
(berapa no induk pegawai-mu lebih penting dibanding siapa namamu).
Para
karyawan yang telah menjadi deretan angka-angka, lalu di-eksploitasi
secara masif demi akumulasi modal para pemilik bisnis. Disini kemudian
diperkenalkan gerakan indah semacam “productivity improvement” dan “motivation training”. Ayo bekerja lebih keras. Ayo bekerja lebih semangat. Padahal semua ini muaranya satu: bagaimana agar setiap tetesan keringat karyawan bisa mendatangkan laba yang makin besar bagi pemilik bisnis.
Logika
kapitalisme dan dunia bisnis lalu terpelanting kelu dalam bayangan
kelam: setiap pemilik bisnis, setiap juragan pemilik modal, setiap
entrepreneur yang dengan gagah menceritakan kisah suksesnya, memang
selalu ingin agar akselerasi modal dan labanya terus terakumulasi dengan
capat. Sementara pada saat bersamaan, karyawan mereka, para pegawai dan
kaum kuli berdasi itu, yang telah bekerja dengan letih, selalu berjalan
tersendat dalam lorong gelap ketidakberdayaan.
Lalu apa yang harus dilakukan jika ada diantara Anda yang terperangkap dalam bayangan sendu semacam itu?
Ada tiga opsi tindakan yang bisa dilakoni.
OPSI 1 : Revolusi.
Percikkan
pertentangan kelas antara kaum proletar (kaum pekerja) dengan kaum
borjuis (kaum pemilik bisnis). Lalu rebakkan gelombang revolusi kaum
buruh: rebut semua aset milik juragan bisnis yang serakah, dan lalu
bagikan secara rata kapada kaum proletar/pekerja.
Revolusi?
Sebuah impian yang tidak layak disepelekan, terutama ketika ketimpangan
kian menganga. Bagi kaum pekerja yang selalu di-eksploitasi, kisah
manis pertumbuhan ekonomi dan kebangkitan kelas menengah baru, hanyalah
sebuah ilusi yang selalu di-celotehkan oleh kaum borjuis yang pongah.
OPSI 2 : Sabar dan Tawakal.
”Yah
habis mau gimana lagi, wong ini memang sudah nasib saya. Bakat saya ya
memang cumanya bisa jadi pegawai alias kuli. Kelas rendahan lagi.”
Sikap yang mungin lebih elegan adalah ini : hadapi semua kenyataan
dengan penuh rasa syukur, sabar dan tawakal. Jalani kehidupan sebagai
pegawai dengan penuh ketekunan sambil berdoa: suatu saat mudah-mudahan
nasib menjadi lebih baik (sebuah doa yang mungkin membuat kita semua
tersenyum. Sebab, sambil menunggu doa itu dikabulkan, yang entah kapan
Anda pun tak tahu, Anda bisa terus menjadi “korban” dari sistem
kapitalisme yang brutal itu,
yang selalu menjadikan Anda sekedar sebagai alat produksi. Sekedar
sebagai sekrup)
OPSI 3 : Menjahit IMPIAN.
Rajutlah impian untuk menjadi pemilik bisnis yang HUMANIS. Bahasa kerennya: menjadi KAUM KAPITALIS yang TERCERAHKAN.
Bangunlah
sebuah bisnis yang hebat, sambil bertekad untuk membagikan 50 % setiap
rupiah profit kepada seluruh karyawan (sebab setiap buruh, setiap
pegawai punya HAK untuk ikut menikmati laba perusahaan). Bangunlah
impian, suatu saat Anda bisa menjadi Juragan Bisnis yang Sosialis:
bermimpilah suatu saat Anda bisa mencarter satu pesawat, dan kemudian
membawa seluruh karyawan Anda dan keluarganya berangkat naik haji. Aih,
aih, betapa eloknya mimpi ini.
Namun mimpi itu hanya akan menjadi ilusi gombal kalau Anda tetap membiarkan diri Anda terus menjadi sekrup.
from milist fspmi@yahoogroups.com
0 comments:
Post a Comment