Omah Buruh : Belajar Berorganisasi

Omah Buruh : Belajar Berorganisasi

FOKUS : Belajar Berorganisasi di “Sekolah Buruh”


Di tengah jembatan yang menghubungkan Kawasan Industri Jakarta Timur dan Kawasan Industri M2100 di Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, tenda biru terbentang dari sisi ke sisi. Itulah ”sekolah buruh” FSPMI.

Disebut sekolah buruh karena tenda dan jembatan itu jadi tempat berkumpul para buruh belajar hubungan industrial. Sebut saja, cara menegosiasi hak-hak mereka dengan manajer, membuat perjanjian kerja bersama, serta pergerakan buruh dan mengorganisasi diri.

Meski serba terbuka, tenda itu bersih. Di bagian belakang ada mushala dan toilet darurat. Aliran listrik berasal dari kabel yang ditarik dari rumah salah satu pekerja. Di satu sisi ada papan tulis yang berisi jadwal buruh yang akan mengonsultasikan masalah mereka.

Pada pukul 10.30 sekitar 20 laki-laki muda usia tak lebih dari 25 tahun bergabung. Mereka pekerja waktu tertentu (outsource) dari kawasan Delta Silikon di Kawasan Industri Jakarta Timur. Karena tenda penuh, mereka turun ke kolong jembatan ditemani tutor. Tampak mereka awam soal gerakan buruh dan cara negosiasi.

Salah satunya Anto (27) asal Cirebon, lulusan SMK bagian listrik. Sudah tiga tahun dia jadi pekerja waktu tertentu walau pekerjaan mengecat sepeda motor adalah usaha pokok perusahaan. Anto tak tahu itu artinya perusahaan melanggar Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan karena tidak menjadikan dia pekerja tetap.

Anto tak punya pilihan. Ia pernah melamar langsung ke perusahaan tanpa melalui yayasan outsource, tetapi ”orang dalam” minta Rp 1,5 juta. ”Tidak ada kontrak kerja,” katanya.

Apabila bekerja penuh 26 hari, dia mendapat Rp 1.849.000. Namun, ia sering lembur karena punya istri dan satu anak di kampung. ”Tidak sanggup kalau istri dan anak ikut saya di sini,” kata Anto.

Anto melembur sampai 14 jam setiap hari untuk mendapat Rp 2,5 juta per bulan. Uang itu habis untuk sewa kamar Rp 350.000 yang dipakai berdua dengan adiknya. Untuk transportasi, dia mencicil motor Rp 625.000 per bulan. 
Perusahaan tak menyediakan angkutan dan naik angkutan umum ongkosnya lebih besar.

Setiap bulan ia kena potongan Rp 25.000 oleh yayasan. Jika lembur, potongan ikut membesar sampai Rp 100.000. Ia diikutkan Jamsostek, tetapi biaya kesehatan dipatok Rp 300.000 per tahun.

Endro (34) menerima upah minimum kabupaten Rp 1.849.000, sama seperti buruh baru meski sudah bekerja 11 tahun. Ijazah sarjana dari universitas swasta di Jakarta Timur tak berarti. ”Saya ikut demo mahasiswa tahun 1998,” katanya. ”Di tempat kerja saya baru terbentuk serikat buruh. Belum punya kesadaran gerakan buruh. Masih takut berserikat, takut PHK.”

Belajar berorganisasi

Jumlah angkatan kerja hingga Agustus 2011 sebanyak 117,4 juta orang, 37,77 juta orang bekerja di sektor formal. Jumlah penganggur 7,7 juta orang dan pencari kerja terus bertambah setiap tahun—tahun 2012 diperkirakan bertambah 2,02 juta orang—membuat pasar tenaga kerja sangat elastis.
 
Posisi buruh lemah.
Upah minimum, menurut Menakertrans Muhaimin Iskandar, seharusnya dimaknai sebagai upah bagi buruh lajang dan bekerja kurang dari satu tahun.
Praktiknya ketentuan upah minimum membuat perusahaan enggan memberi upah layak sesuai keuntungan perusahaan.

Nilai lebih dari kerja buruh tak sampai kepada mereka. Karena itu, FSPMI membuat sekolah buruh. ”Kami terus membangun kesadaran kelas,” kata Ketua Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Said Iqbal yang juga Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI).
Salah satu cara membangun kesadaran kelas adalah dengan melatih buruh mengorganisasi diri. KSPI mengambil model gerakan buruh yang menjadi antitesis model gerakan buruh yang condong dekat kepada penguasa dan model gerakan buruh yang ingin menggantikan pemerintahan untuk memperbaiki kesejahteraan buruh.
”Gerakan kami tumbuh dari bawah, dipimpin buruh dan karena itu membawa isu buruh,” kata Iqbal.

Sumber Berita : Kompas

0 comments:

Post a Comment